Penulis buku Saya Pilih Sehat dan Sembuh (2009), Sehat Sejati yang Kodrati (2013), Nasehat Buat Sehat (2015), serta Resep Panjang Umur, Sehat, dan Sembuh (2018).

dr. Tan lahir pada 17 September 1964. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara yang lulus Profesi Kedokteran Negara FKUI pada 1991.

Pernah juga mengenyam pendidikan pendidikan pascasarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta.

Apa itu stunting?

Pertama kita luruskan dulu soal istilah stunting ya. Stunting itu bukan kerdil. Kerdil atau cebol itu karena gangguan hormon tiroid/hipotiroid sejak lahir, makanya kalian bisa lihat orang-orang yang memang (maaf) bentuk badannya cebol.

Stunting adalah:

  1. Kekurangan gizi kronik (kalau akut itu gemuk atau kurus hitungannya) sejak 1000 hari pertama kehidupan, dimulai sejak bayi masih dikandung hingga usia dua tahun.

  2. Memang salah satu indikatornya panjang/tinggi badan anak-anak SD (standar deviasi) dari kurva pertumbuhan panjang badan anak seusianya.

  3. Kecerdasan anak stunting di bawah rata-anak anak seusianya juga. Jadi kalau anak pendek karena genetik orang tuanya, tapi dia cerdas, maka anak itu tidak masuk kategori stunting.

  4. Anak stunting bisa saja gemuk, tidak sama dengan anak-anak yang nampak kurus lantaran kurang makan.

  5. Oleh karena itu, risiko stunting ke depan adalah obesitas, hipertensi, diabetes, gangguan penyakit jantung, dan pembuluh darah.

Kenapa memakai patokan usia dua tahun? Karena 80% otak manusia sudah selesai dibentuk pada usia tersebut. Jadi, kalau mau “membenahi” stunting dengan bagi-bagi makanan di SD dan TK, itu namanya tindakan sia-sia.

Stunting seharusnya dicegah pada saat perempuan siap jadi calon ibu. Saat mengandung dan menyusui, serta mempraktikkan pemberian makan bayi dan anak. Edukasi dan literasi menjadi amat penting.

Kontributor stunting selain gizi:

  1. Kebersihan. Anak/bayi yang sering diare atau sakit tentu terganggu tumbuh kembangnya

  2. Vaksinasi. Kebayang kan, pertama, Kasihan jika masih berusia sekitar dua tahun sudah mengidap tuberculosis (TBC), campak, kena cacar air, dan sebagainya.

  3. Lingkungan hidup. Ayah atau keluarga ada yang merokok. Keluarga tidak menunjang semua hal yang sudah saya jelaskan di atas.

  4. Susu formula dan susu “tumbuh kembang” yang dikira memberi keajaiban, padahal ibu cerdas dan sehat punya ASI dan mampu mengolah Makanan Pendamping ASI bergizi.

Terkait no.4, makanan kemasan itu punya kasta. Yang dibeli si kaya, sangat berbeda dengan bubuk sachet-an yg ada di nun jauh kampung sana. Bayangkan jika ibu-ibu kita tidak teredukasi. Maunya cari gampang, praktis memberi makan anak, padahal belum tentu itu bergizi untuk sang anak.

Apakah indikasi anak stunting bisa dideteksi sejak dalam kandungan?

Tidak bisa sebab stunting bukan cacat bawaan. Yang bisa dilakukan adalah saat memeriksa kehamilan, ibunya diberitahu bahwa taksiran berat badan janin tidak sesuai usia kehamilan. Sekali lagi, stunting itu butuh “panjang badan”. Bagaimana mengukur panjang badan janin coba?

Adakah makanan atau minuman spesifik yang bisa dikonsumsi ibu hamil agar buah hatinya nanti tidak mengalami stunting? Atau pemberian makan dan minum itu mulai berlaku ketika sang bayi sudah lahir?

Ibu hamil butuh gizi seimbang. Dan ini kebutuhan bayinya setelah lahir. Yang menyedihkan, milenial enggak punya manual. Ini konsumsi yang dibutuhkan oleh calon ibu. Seharusnya menu ini sudah menjadi kebiasaan sejak remaja. Kemenkes sebenarnya sudah “teriak-teriak” soal pakem Isi Piringku ini, tapi industri dan investasi gerai-gerai pangan ngaco lebih kencang. Ibu berisiko punya bayi stunting karena dia makan yang dia doyan belaka. Apakah badannya butuh? Enggak. Dia makan kecanduannya, bukan kebutuhannya.

Kalau dari pengamatan dokter, apa salah kaprah terkait asupan makanan dan minuman yang sering banget dilakukan oleh orang tua, khususnya yang tinggal di perkotaan, yang itu kemudian justru meningkatkan risiko anaknya stunting?

Seperti yang saya jelaskan tadi, banyak calon ibu atau ibu yang mengonsumsi makanan hanya karena dia suka makanan tersebut. Padahal tubuhnya tidak butuh. Lalu ada juga yang menganggap bahwa susu formula dan susu “tumbuh kembang” bisa memberi keajaiban. Padahal ibu cerdas dan sehat punya ASI dan mampu mengolah Makanan Pendamping ASI bergizi.

Selain pola makan, apakah pola asuh orang tua juga berperan penting untuk mencegah anak stunting? Pola asuh seperti apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghindarkan anak dari potensi stunting?

Pasti. Misal, ibu hanya cari praktisnya saat memilih makanan bagi anak. Atau lebih mementingkan pekerjaan ketimbang bersama anaknya selama proses tumbuh kembang.

Terkait pola asuh ini, biasanya akan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan atau budaya masyarakat dan lingkungan keluarga tersebut. Mungkin ada beberapa kebiasaan yang justru meningkatkan potensi anak mengalami stunting. Bagaimana cara terbaik mengingatkan mereka?

Mengingatkan saja tidak menyelesaikan masalah. Juga nggak bisa asal patuh. Jadi orang tua harus paham. Untuk membuat mereka paham harus ada pendampingan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari posyandu dengan para kadernya, ahli gizi yang tersebar di mana-mana, hingga iklan layanan masyarakat.

Dari pengalaman dokter, apa tantangan terbesar yang dihadapi dalam memberikan edukasi dan literasi terkait stunting kepada masyarakat?

Tantangannya bukan pada orang tuanya, tapi justru iklim lingkungan yang kontraproduktif. Iklan-iklan liar tentang pangan dan susu yang “overrated”, superlatif lebay, hingga aturan International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes yang selalu dilanggar padahal sudah disepakati dalam World Health Assembly.

Bagaimana stunting memengaruhi kecerdasan otak pada anak?

Bisa dibuka di jurnal yang saya bagikan.

Asupan makanan atau minuman apa saja yang sebaiknya diberikan orang tua jika mendapati anaknya terindikasi mengalami stunting?

Sekali lagi, stunting di atas usia dua tahun sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Yang bisa kita lakukan hanya mencegah risiko obesitas dan penyakit metabolik kemudian hari. Dan memikirkan sekolah kejuruan atau pendidikan vokasi yang cocok untuk mereka.

Perlukah memberikan vaksin tambahan kepada anak?

Sekali lagi, stunting bukan penyakit menular. Jadi untuk apa pemberian vaksin? Manusia butuh gizi, bukan suplemen. Gizi itu adalah pangan sehari-hari. Paling penting itu mengejar periode emas 1000 hari pertama kehidupan anak.

Gangguan yang terjadi selama periode ini akan berdampak pada kelangsungan hidup tumbuh kembang anak yang bersifat permanen. Gangguan ini akan sulit untuk diperbaiki jika usia anak sudah berumur dua tahun.

Yang ngeri, mulai 2018 kita masuk bonus demografi. Artinya 70% populasi kita adalah orang-orang dengan usia produktif. Bayangkan jika diisi SDM dengan kecerdasan kurang dan punya risiko penyakit.

Apakah ada infeksi tertentu yang bisa menjangkiti janin yang nantinya bisa berujung sama kemampuan janin menyerap nutrisi?

Tentu. Makanya ibu hamil juga perlu vaksinasi. Rubella, dan menghindari infeksi Toksoplasma.

Cara bayi mengonsumsi asi bisa mempengaruhi asupan gizinya. Gimana memaksimalkan asupan ASI?

Ibu perlu memahami asupan gizinya sendiri. Tidak stres, apalagi baru melahirkan langsung memikirkan kerjaan. Karena itu akan memengaruhi produksi ASI. Ibu juga perlu belajar bagaimana menyusui dengan benar. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menyusui harus belajar, bukan menggunakan insting. Sebab jika perlekatan dan posisi menyusui tidak benar, banyak masalah akan muncul. Mulai dari puting lecet hingga bayi “marah” menangis terus. Sebagian ibu mungkin mengira produksi ASI-nya kurang, padahal bayinya jengkel lantaran perlekatan saat menyusunya salah.