Apakah Mom pernah merasa kurang enak menolak kemauan orang lain? Bisa jadi Mom adalah seorang people pleaser. People pleaser adalah orang yang selalu berusaha untuk menyenangkan orang di sekitarnya, walaupun itu merugikan dirinya.

Dampak negatifnya menjadi people pleaser adalah harga diri yang rendah, pendirian diri yang tidak kuat, dan juga overthinking.

People pleaser akan selalu mengalah mengikuti orang lain dan juga mengabaikan opini atau perasaan dirinya untuk menjauhi dirinya dari konflik.

Seringkali, people pleaser akan merasa bersalah atas hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

Di CeritaMom kali ini, Mom Sandra (nama asli disamarkan) menceritakan bagaimana dia berhenti menjadi seorang people pleaser dengan bantuan suaminya.

Perjuangan ini tentunya mulai dari kesadaran dirinya bahwa menjadi seorang people pleaser tidak bagus untuk kesehatan mentalnya.

Sedikit demi sedikit, Mom Sandra mampu melawan kebiasaannya untuk mementingkan orang lain di atas dirinya.

Dengan itu, mari kita simak perjalanan Mom Sandra berhenti menjadi seorang people pleaser.

Pengalaman Mom Sandra Berhenti Menjadi People Pleaser

Pernah tidak Mom dalam satu hari itu Mom benar-benar merasa sedang di puncak lelah.

Bawaannya bad mood, hal kecil jadi dibesar-besarkan, merasa paling tersakiti dan paling banyak berkorban?

Saya sering banget merasakan hal ini lho, Mom. Tak jarang anak-anak dan suami jadi pelampiasannya.

Tentu hal ini tidak baik dan tidak patut untuk terus-terusan dilakukan. Hingga saya menemukan sebuah titik terang, kenapa saya seringkali merasakan perasaan negatif tersebut.

People pleaser. Ya, saya baru menyadari bahwa saya memiliki kecenderungan menjadi seorang people pleaser, yaitu sebutan bagi seseorang yang selalu berusaha melakukan atau mengatakan hal yang menyenangkan orang lain, meski bertentangan dengan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Ini ia lakukan agar orang lain tidak kecewa padanya.

Dari dulu hingga sekarang sudah menjadi ibu dari dua orang anak, saya sulit sekali menolak jika ada orang lain yang meminta bantuan, saya selalu memenuhi dan mengiyakannya agar saya bisa menjadi orang yang paling diandalkan dalam pertemanan atau dalam keluarga, padahal saya juga punya kesibukan yang lain, sehingga saya hanya bisa menggerutu dalam hati, kenapa selalu saja saya yang ditunjuk untuk melakukan hal ini hal itu. Ujung-ujungnya merasa terbebani.

Pernah sesekali saya mencoba untuk menolak, tapi kok perasaan campur aduk dan kepikiran terus, takut mereka berpikir bahwa saya tidak lagi menyenangkan, takut mereka akan mengabaikan.

Ujung ujungnya pendirian goyah, lalu mengiyakan saja biar mereka kembali senang. Di sinilah saya merasa bahwa “I need help, I lost myself.”

Syukur Alhamdulillah punya support system khususnya suami yang mindfulness.

Saya menceritakan apa yang sedang saya alami dan rasakan, lalu dengan sabar dia berusaha membimbing agar saya bisa lebih asertif dalam segala situasi, bisa bodo amat sama sikap dan perilaku orang lain.

Menyadarkan saya bahwa perasaan orang lain bukan tanggung jawab kita, tapi tanggung jawab pribadi.

Mengingatkan kembali apa-apa saja yang ada di dalam lingkar peduli dan apa saja yang berada di luarnya, sederhananya memahami apa yang bisa kita kendalikan, dan apa-apa saja yang tidak bisa kita kendalikan.

Sampailah pada suatu situasi yang menguji. Ada rasa kecewa yang menyelimuti teman saya saat saya dengan tegas mengatakan tidak atas ajakannya, dan tentu saya mengutarakan alasan penolakan dengan sejujur-jujurnya.

Setelah melakukannya, saya merasa benar-benar lega. Walau di pikiran dan perasaan masih berkecamuk, tapi saya berhasil mempertahankan kata “tidak” saya.

Sejak saat itu saya mulai menyadari bahwa membuat orang senang itu memang baik, tapi mustahil kita bisa konsisten menyenangkan hati banyak orang, karena terkadang memang ada di situasi atau kondisi dirasa tidak memungkinkan untuk selalu mengiyakan.

Mereka kecewa itu wajar dan kita tak punya tanggung jawab untuk perasaannya.

Saya juga lebih menyadari terhadap perbedaan antara people pleaser dengan inisiatif untuk membantu, karena real goals-nya memang jelas berbeda.

People pleaser tujuannya agar membuat orang senang lain walau bertentangan dengan prinsip kita, sedangkan inisiatif membantu tujuannya memang agar bisa membantu orang lain dan memang murni dari keinginan kita untuk membantu, bukan atas keterpaksaan atau merasa terbebani.

Terima kasih untuk suami yang dengan lembut dan sabar mengarahkan saya menjadi versi terbaik diri saya. Semangat untuk Mom lainnya yang juga pernah merasakan hal yang sama, you are not alone, yuk sama-sama bertumbuh ❤

Baca juga: CeritaMom: Menerapkan Self Love sambil Membesarkan Anak Kecil