Sepertinya pekerjaan lainnya, seorang Ibu rumah tangga mengorbankan waktu dan energi untuk menjalankan tugasnya.

Tangisan anak yang tiada henti dan cucian kotor yang terus menggunung berarti Mom harus mengerjakan semuanya tanpa istirahat.

Dengan istirahat yang kurang, dan pekerjaan yang tidak selesai-selesai, kemungkinan besar Mom akan mengalami burnout.

Ya, siapa saja bisa mengalami burnout, tak hanya pekerja kantoran. Mom yang sering memaksa dirinya untuk mengurus semuanya tanpa bantuan suami atau keluarga lain akan rentan untuk mengalami kondisi burnout juga.

Itulah yang dirasakan oleh Mom Uli. Setelah merantau dengan keluarganya, ia harus jauh dari bantuan orang tua.

Alhasil, Mom Uli harus mengurus kedua anak mudanya dan rumah tangganya sendiri. Tentunya, lingkungan sosial yang kurang optimal membuatnya merasa tersendiri, dan akhirnya Mom Uli juga merasakan burnout.

Uniknya, sebagai lulusan jurusan psikologi, Mom Uli menemukan cara untuk mengatasi burnout tersebut. Apa itu caranya? Ketahui lebih lanjut di CeritaMom di bawah ini!

Cara Mom Uli Mengatasi Burnout

Halo, aku Uli, seorang ibu dua orang anak. Anak pertama usianya 2,5 tahun dan anak kedua baru berusia 5 bulan. Merantau dari Padang ke Bekasi, jauh dari jangkauan orang tua, tanpa ART, membuatku harus punya effort lebih untuk mengurus diriku sendiri.

Sejak menjadi ibu, 26 daftar pekerjaan rumah harus dilakukan setiap harinya. Pekerjaan ini nyaris menghabiskan setengah hariku untuk benar-benar diselesaikan. Tak jarang pekerjaan yang tidak ada habisnya ini seringkali membuatku terjebak di puncak lelah.

22 Oktober 2022, rasanya lelahku sudah benar-benar di titik nadi. Beban pikiran dan perasaan sudah tidak bisa aku bendung sendiri. Aku ingin menumpahkannya.

Berusaha memanjangkan sajadah. Mengadu ke Sang Maha Penenang Hati. Tapi tetap saja, aku makhluk sosial, butuh manusia lain yang bisa merespon langsung kegetiran ini.

Aku ingin bercerita bebas, tanpa bias, tanpa “batas”. Sebenarnya sedikit terbebani dengan statusku yang menjadi lulusan psikologi, seringkali ingin menumpahkan pikiran dan perasaan dengan “Mereka yang ku anggap tepat”, tapi respon yang aku dapatkan malah semakin menekan, “Ha? masa anak psikologi ngeluh kayak gini?.”

Seolah-olah anak psikologi bukan manusia seutuhnya, mereka manusia sempurna tanpa keluhan, tanpa butuh manusia lain. Dipaksa untuk terlihat sempurna.

Nyatanya, aku masih manusia biasa. Bisa lelah, ngeluh dan terluka. Aku juga butuh manusia lain untuk menunjukkan ke mana seharusnya jalan benar yang harus aku pilih, karena rasa lelah seringkali menyamarkan persimpangannya.

Aku memutuskan untuk ikut sesi konseling bersama Psikolog pilihanku hari itu. Syukurlah aku hanya mengalami gejala burnout, yang menurut beliau memang wajar dan sering kali terjadi pada seorang Ibu rumah tangga.

Burnout adalah keadaan lelah secara emosional, fisik dan mental akibat stres berkepanjangan yang tidak berhasil dikelola dengan baik (Ciampi, 2019).

Fenomena ini ditandai oleh adanya perasaan tertekan, amarah, hilangnya gairah atau semangat dalam melakukan suatu pekerjaan, serta menarik diri dari interaksi sosial dengan orang-orang terdekat (McCormack dan Cotter, 2013).

Kita ngobrol layaknya teman yang sudah lama kenal. Hingga aku tersadar bahwa, sebenarnya semenjak menjadi ibu, aku seringkali merasa kesepian. Aku hanya butuh didengarkan seperti ini.

Aku juga menyadari bahwa semenjak menjadi ibu, prioritasku berubah ke anak-anak dan suami. Aku lupa, ada satu orang yang juga patut di prioritaskan, ya dia adalah aku.

Terima kasih aku, sudah menyadari kekeliruanku selama ini. Anak-anak dan suami memang penting, tapi dirimu juga jauh lebih penting.

Adalah benar perkataan pramugari yang memperagakan masker oksigen dan memberitahu kepada setiap orang bahwa “pakai masker oksigen kita sendiri sebelum menolong orang lain.”

Bukan, ini bukan bentuk keegoisan. Ini bentuk cintamu pada dirimu sendiri. Sebelum menyenangkan orang lain, ada dirimu yang harus kamu senangi. Sebelum mencintai orang lain, ada dirimu yang patut kamu cintai.

Satu hal yang aku highlight dari sesi konseling hari itu adalah, take your time, Mom. Upayakan di setiap harinya untuk membiasakan diri mencintai dirimu sendiri sebanyak kamu mencintai orang lain.

Pasang masker oksigenmu terlebih dulu, maka setiap orang di sekelilingmu juga akan lebih mudah untuk bernapas.

Melalui konseling, Mom Uli menemukan cara dirinya mengatasi burnout. Bagi Mom yang lain yang merasa lelah dan putus asa, ingat bahwa diri Anda juga butuh dan boleh beristirahat. It’s okay to take a break for awhile from your routine, Mom!

Baca juga: CeritaMom: Menerapkan Self Love sambil Membesarkan Anak Kecil