Warisan menjadi salah satu perkara penting pada salah satu fase kehidupan Mom dan Dad, baik sebagai anak, maupun untuk keturunan kelak.

Warisan memang perlu diurus dengan cermat dan tepat. Pasalnya, perkara satu ini tak jarang membuat hubungan keluarga jadi berantakan karena perbedaan pendapat perihal siapa yang lebih berhak dan tidak.

Warisan adalah harta peninggalan yang diberikan kepada ahli waris atau keluarga ketika seseorang meninggal dunia.

Hubungan ahli waris didasarkan pada hubungan darah, pernikahan, persaudaraan dan kekerabatan.

Harta yang ditinggalkan bisa yang bergerak maupun yang tidak.

Tapi, warisan tak selamanya tentang harta. Karena, bisa saja seseorang meninggal dunia namun masih terbelit utang yang belum sempat dibayarkan. Nah, jika demikian, ahli waris wajib bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Hukum pembagian warisan

Sebagai negara multikultural, Indonesia memiliki tiga cara dalam membagi warisan:

1. Hukum Waris Adat

Hukum adat tidak tertulis, namun dituangkan dalam bentuk norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi oleh masyarakat tertentu di suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut.

Di Indonesia, hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan, di antaranya: - Sistem keturunan, yang dibedakan menjadi tiga macam: sistem patrilineal yaitu berdasarkan keturunan bapak, sistem matrilineal yang berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yang berdasarkan garis keturunan kepad aorang tua. - Sistem individual. Pada sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Sistem ini biasanya diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak - Sistem kolektif. Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak dibagi dan memiliki hak penuh untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. - Sistem mayorat atau dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaannya diberikan kepada salah satu anak tertentu, misal kepada anak tertua yang pada banyak sistem adat-istiadat di Indonesia diyakini sebagai pemimpin keluarga pengganti ayah dan ibunya.

2. Hukum Waris Islam

Dalam hukum Islam, warisan dibagi berdasarkan prinsip individual bilateral. Dengan demikian, pewaris bisa berasal dari bapak atau ibu.

Menurut hukum waris Islam, bila pewaris hanya meninggalkan satu anak perempuan, maka cara pembagiannya adalah ahli waris berhak memperoleh setengah dari total harta yang ditinggalkan oleh pewaris.

Apabila terdapat dua atau lebih anak perempuan yang merupakan ahli waris, maka dua pertiga warisan wajib diberikan kepada mereka dengan nantinya akan dibagi rata antara setiap anak.

Aturan yang sama juga berlaku jika pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki. Namun, jika yang ditinggalkan adalah satu anak laki-laki dengan satu atau lebih anak perempuan lainnya, maka anak laki-laki berhak mendapatkan porsi lebih besar, dengan nilai mencapai dua kali lipat dibandingkan total nilai warisan yang diterima anak perempuan lainnya.

3. Hukum Waris Perdata

Hukum waris perdata berlaku untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).

Dalam hukum ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Ada dua cara untuk mewariskan dalam hukum perdata: - Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya; Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya; Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas; dan Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.

  • Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.

Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun.