Sebagai salah satu kelompok rentan, selain orang lanjut usia, perempuan hamil, dan orang dengan disabilitas, anak-anak wajib mendapatkan perhatian khusus selama pandemi COVID-19. Banyak pihak tidak menyadari hak anak ikut terkebiri selama masa pandemi ini, terlebih ketika pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Lantaran aturan PSBB tersebut anak-anak terpaksa lebih sering berada di dalam rumah. Akses mereka bertemu dan bermain dengan teman-teman sebaya di sekolah jadi terhalang karena aktivitas belajar mengajar dipindahkan ke rumah. Pun aktivitas mencari hiburan dan rekreasi yang juga dibatalkan.

Mengingat tingkat penyebaran COVID-19 di negara ini yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Republik Indonesia telah mengeluarkan sejumlah pedoman, panduan, dan protokol untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak selama masa pandemi. Salah satunya panduan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dalam pandemi COVID-19.

Program yang sejatinya sudah bergulir sejak 2016 ini menitikberatkan pada jejaring di masyarakat yang peduli pada anak-anak di lingkungan sekitarnya. Tujuannya mencegah dan merespons tindak kekerasan pada anak di desa/kelurahan dengan berbasis masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 72.

“Selama PSBB, anak-anak berisiko tinggi terhadap eksploitasi, kekerasan, dan perlakuan salah ketika sekolah ditutup, layanan sosial terganggu, dan gerakan dibatasi. Dalam situasi ini perlu ada pihak yang memperhatikan pemenuhan hak anak,” ujar Antik Bintari, fasilitator nasional PATBM dan salah satu anggota tim penyusun PATBM dalam masa pandemi COVID-19.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) yang diumumkan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati seperti dilansir Tirto (1/5/2020), tercatat ada 407 anak telah menjadi korban kekerasan selama pandemi COVID-19 merebak di Indonesia.

Mengapa bisa terjadi demikian? Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyebut lantaran PSBB tak berperspektif ramah anak lantaran aturan di situ hanya untuk orang dewasa, khususnya kelas pekerja. Sementara anak-anak tidak diatur.

Terlebih lagi masih banyak orang tua tidak mengetahui persis hak anak.

“Hak mereka bukan sekadar mendapatkan kasih sayang, tapi juga meliputi hak sipil dan kebebasan, ada hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kemudian hak atas kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, serta hak mendapatkan perlindungan khusus,” sambung Antik Bintari.

Untuk memenuhi semua hak tersebut memang perlu banyak syarat. Pun demikian selama masa pandemi kelima kluster tersebut seharusnya tetap menjadi indikator dalam hal pengasuhan dan perlindungan terhadap anak.

Semisal pemenuhan hak atas pendidikan. Tidak semua orang tua siap menggantikan peran guru di sekolah selama proses belajar mengajar berlangsung di rumah. Seringkali bukan berniat mengabaikan, tapi karena secara kapasitas tidak sesuai, maka biasanya akan timbul stres pada orang tua dalam mendampingi anak selama belajar di rumah.

“Belum lagi kalau orang tua bekerja dari rumah, maka sangat mungkin akan terjadi pengabaian dan tindakan kekerasan terhadap anak, seperti dibentak, bicara kasar, dan lain-lain,” ungkap Antik.

Contoh lainnya adalah hak bermain yang juga berat dipenuhi pada masa pandemi. Tantangan orang tua sangat luar biasa. Untuk kelompok menengah ke atas cenderung masih bisa memiliki solusi karena ketersediaan sarana dan prasarana pendukung. Beda cerita dengan kelompok miskin. Mereka tentu saja akan mengalami kesulitan memenuhi salah satu hak dasar anak yakni bermain dan rekreasi.

Selain tingkat kesejahteraan, pemenuhan hak perlindungan dan pengasuhan anak juga terkait erat dengan wilayah tempat tinggal masing-masing, sungguh pun cara pengasuhan orang tua di wilayah perkotaan dan daerah pada dasarnya sama, yakni mengajarkan norma dan nilai-nilai kebaikan.

Orang tua yang tinggal di wilayah perkotaan biasanya akan cenderung mengajarkan tentang kemandirian, teknologi, keterbukaan cara berpikir. Bagian terakhir ini pun tergantung pada tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua masing-masing anak. Sementara mereka yang berada di daerah cenderung akan lebih menanamkan nilai-nilai tradisional, kearifan lokal, dan budaya yang berlaku di tempat tinggal mereka.

Menurut Antik, selama menyusun panduan PATBM dalam masa pandemi, acuannya adalah kondisi adanya kasus keterpisahan anak atau tidak adanya pengasuhan dari pengasuh inti (orang tua, pengasuh, atau anggota keluarga) pada saat orang tua dari si anak berstatus ODP, PDP, dan pasien positif COVID-19.

Lalu bagi anak yang masuk kategori Anak Dalam Pemantauan, Pasien Anak Dalam Pengawasan, dan yang positif seringkali berhadapan dengan stigamtisasi sosial, diskriminasi, kekerasan, dan pengucilan karena dianggap pembawa wabah, anak yang tidak sehat, anak yang akan menularkan, dan berbagai stigma negatif lainnya. Hal-hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi.

Baca juga: Ciri Anak yang Alami Stres Selama di Rumah Saja