Mom, tahukah Anda bahwa hustle culture adalah fenomena yang sedang ramai diperbincangkan di kalangan millenial. Ada banyak pro dan kontra mengenai fenomena ini. Dilansir dari Headversity, hustle culture artinya budaya kerja yang membuat seseorang bekerja terus menerus, bahkan tanpa istirahat. Sekalinya beristirahat, mereka selalu memikirkan pekerjaan.

Nah, apakah Mom pernah mengalaminya? Jika pernah, sebaiknya Anda waspada sebab hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental.

Apa itu hustle culture

Mom, hustle culture kini menjadi fenomena yang banyak terjadi pada anak muda. Hustle culture adalah budaya bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melewati batas kemampuan guna mencapai tujuan yang kapitalis, yaitu kaya, makmur, dan sukses dengan cepat.

Sebenarnya bekerja keras itu baik. Tak ada yang menyanggah statement bahwa untuk mencapai kesuksesan, diperlukan adanya usaha. Namun, kebiasaan bangun tidur, langsung mengecek email, lalu di kantor bekerja tak kenal lelah, dan sampai rumah pun masih menyelesaikan pekerjaan, inilah contoh hustle culture yang sebaiknya dihindari, Mom.

Di zaman sekarang, anak muda yang menerapkan budaya ini nyatanya cukup lazim. Mereka mengutamakan pekerjaan dan penghasilan dibandingkan kesehatan mental, kebahagiaan diri sendiri, dan hubungan dengan orang lain. Padahal, dampaknya dapat merugikan masa depan mereka sendiri.

Penyebab hustle culture

Mungkin Mom bertanya-tanya, bagaimana hustle culture ini bermula? Ternyata, istilah yang juga dikenal dengan workaholic ini tidak muncul begitu saja di tengah masyarakat, Mom. Melainkan ada banyak faktor yang menyebabkannya terjadi, terutama pada kaum muda. Penyebab tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Adanya kemajuan teknologi

Penyebab utama munculnya hustle culture adalah kemajuan teknologi yang semakin canggih. Kini, smartphone tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga sarana untuk bekerja. Mom dapat menyusun presentasi, mengirim dan membalas email, melakukan meeting online, hingga membuat laporan.

Ini bisa jadi bagus dan tidak. Bagusnya, semuanya dapat Mom lakukan lewat genggaman tangan di mana pun dan kapan pun. Tapi tanpa disadari, berbagai kemudahan tersebut bisa membuat seseorang bekerja sepanjang waktu tanpa mempedulikan kesejahteraan dirinya sendiri.

2. Toxic positivity

Toxic positivity juga menjadi penyebab munculnya budaya hustle culture di tengah-tengah masyarakat. Toxic positivity adalah perilaku yang mendorong seseorang berasumsi positif meskipun sedang dalam situasi tertekan. Biasanya asumsi ini muncul dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar, Mom.

Sebagai contoh, saat merasa lelah akibat pekerjaan menumpuk, Mom bukannya beristirahat tapi malah berpikir dalam hati bahwa Anda masih kuat dan pasti bisa menyelesaikannya. Toxic positivity juga sering digambarkan dengan kalimat yang lebih menohok, seperti “Masa gitu aja udah capek, sih? Trus kapan sukses?”

Nah, kalimat-kalimat semacam ini yang memicu seseorang bekerja terus menerus tanpa henti. Padahal, tubuh juga memerlukan istirahat dan melakukan kegiatan lain yang lebih berarti.

Tak dapat dipungkiri, toxic positivity semakin berkembang selama pandemi COVID-19, Mom. Pasalnya di masa ekonomi yang serba sulit, orang dipaksa bekerja lebih giat demi mendapatkan uang. Alhasil, tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengalami stres, burnout, tapi enggan meluapkannya. Hingga akhirnya kesehatan mental menjadi korbannya.

3. Konstruksi sosial

Masyarakat kita saat ini masih banyak yang menilai bahwa tolak ukur kesuksesan hidup adalah memiliki jabatan dan kondisi finansial baik. Semakin bagus karir seseorang, maka hidupnya dinilai semakin mapan oleh masyarakat. Mereka akan menjadi patokan bagi orang-orang di sekitarnya.

Alhasil banyak kaum muda terpacu untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya agar bisa mendapatkan apa yang disebut kesuksesan hidup menurut orang-orang. Padahal, meskipun tujuannya baik, gaya hidup tersebut tak selamanya benar, Mom.

Hustle culture hanya akan memaksa seseorang bekerja tak kenal lelah demi dipandang sukses oleh lingkungannya, namun sebenarnya fisik dan mentalnya tidak kuat.

Baca juga: Mengenal Alpha Female dan 10 Karakter Kepribadiannya

Dampak hustle culture

Toxic hustle culture adalah gaya hidup yang memberikan dampak buruk pada berbagai aspek kehidupan. Berikut penjelasannya.

1. Kehilangan work life balance

Work life balance adalah keseimbangan antara karir dengan kehidupan pribadi. Dampak budaya hustle bisa membuat Mom kehilangan keseimbangan tersebut. Padahal, work life balance sangat berpengaruh pada kebahagiaan dan produktivitas seseorang.

Tak melulu bekerja, Mom juga butuh bersosialisasi, menghabiskan waktu bersama pasangan, keluarga, atau teman. Kegiatan ini dapat membantu meningkatkan kreativitas dan menghasilkan energi positif, lho!

2. Meningkatkan risiko terkena penyakit

Penelitian tahun 2018 yang diterbitkan di Current Cardiology Reports mengungkap fakta bahwa mereka yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, lho! Penyakit ini meliputi serangan jantung dan penyakit jantung koroner. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya peningkatan tekanan darah dan detak jantung akibat stres berlebihan.

3. Meningkatkan gangguan mental

Bekerja keras tanpa istirahat akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Beberapa masalah yang sering dialami yaitu anxiety disorder, gejala depresi, bahkan pikiran untuk bunuh diri.

Stres terus-menerus akan mengakibatkan tubuh mengeluarkan hormon stres atau kortisol dalam jumlah banyak. Sehingga untuk menormalkannya, Anda butuh beristirahat.

Itu dia berbagai dampak negatif hustle culture yang perlu Mom ketahui. Bekerja keras memang baik Mom, namun jangan sampai Anda terjebak dalam budaya hustle culture yang hanya akan membuat keseimbangan hidup Anda terganggu. Bekerjalah sewajarnya saja, buatlah hidup Anda bahagia bersama orang-orang tersayang.

Baca juga: Mengenal Apa itu Fomo dan Dampaknya Secara Finansial