Mom, tentunya Anda sudah familiar dengan istilah pernikahan dini, tapi bagaimana dengan dampak pernikahan dini tersebut? Remaja adalah masa di mana anak tengah tumbuh dan berkembang secara pesat, mulai dari fisik, psikologis, hingga intelektual.

Keinginan untuk mencoba hal-hal baru dan rasa ingin tahu yang tinggi pun menjadi ciri khas remaja. Akan tetapi, terkadang hal tersebut disertai dengan pengambilan keputusan yang sedikit ceroboh, seperti pernikahan dini.

Menurut data, Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN untuk kasus perkawinan anak lho, Mom. Tentunya ini bukanlah prestasi yang membanggakan sebab pada dasarnya pernikahan anak di bawah umur dapat menyebabkan kematian ibu dan anak, KDRT, sampai  stunting.

Lantas bagaimana cara mencegahnya? Yuk simak informasi berikut sampai selesai.

Pengertian pernikahan dini

Pengertian pernikahan dini adalah orang yang menikah di bawah usia 19 tahun. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Mom.

Pada dasarnya, banyak faktor yang mendasari terjadinya perkawinan dini. Di Indonesia sendiri, kebanyakan faktor tersebut antara lain alasan adat, ekonomi, menghindari perzinahan, hingga kehamilan tak diinginkan.

Tak hanya itu, orang tua berharap anaknya memiliki penghidupan yang lebih baik setelah menikah. Akan tetapi, apabila anak tersebut sampai putus sekolah, justru yang terjadi adalah meningkatkan angka kemiskinan.

Di sisi lain, menurut WHO tingginya angka pernikahan dini merupakan salah satu penyebab masalah stunting di Indonesia. Apa hubungannya?

Pada dasarnya wanita yang melangsungkan pernikahan di usia remaja belum matang secara psikologis. Selain itu, mereka juga masih membutuhkan gizi hingga usia 21 tahun.

Jika mereka menikah dan hamil di usia remaja, maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Inilah yang menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah dan berisiko terkena stunting.

Dampak pernikahan dini

Sangat disayangkan karena fenomena menikah dini masih banyak ditemui di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Setiap tahunnya, sebanyak 10 juta perempuan di dunia menikah pada usia kurang dari 18 tahun. Sehingga hal ini menyebabkan berbagai risiko gangguan kesehatan hingga kekerasan seksual. Selain itu, berbagai dampak pernikahan dini yang lain yakni:

1. Risiko penyakit seksual

Dampak pernikahan dini yang pertama adalah risiko penyakit seksual. Tak dapat dipungkiri, ketika dua orang sudah menikah pasti terjadi hubungan seksual.

Sementara hubungan seks yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 18 tahun akan lebih berisiko terkena penyakit menular seksual, misalnya HIV. Ini dikarenakan mereka belum tahu tentang bagaimana cara seks yang aman.

2. Risiko mengalami masalah pada kehamilan

Mom sebaiknya selalu memberikan edukasi pada anak remaja tentang kesehatan reproduksinya guna mencegah bahaya pernikahan dini yang mengarah pada kehamilan usia dini. Ini dikarenakan jika terjadi kehamilan usia dini, maka dampaknya bukan main-main, lho.

Salah satunya yaitu bayi berisiko lahir secara prematur dan berat badannya rendah. Tak hanya itu, bayi juga akan mengalami masalah tumbuh kembang. Sementara bagi sang ibu akan lebih berisiko mengalami preeklamsia dan anemia.

Parahnya lagi, apabila preeklamsia berkembang menjadi eklamsia, maka akan membahayakan ibu dan janin sehingga berakibat pada kematian.

3. Risiko KDRT yang tinggi

Dampak pernikahan dini berikutnya yaitu risiko mengalami KDRT. Sebenarnya KDRT tidak memandang usia, akan tetapi anak yang masih berada di bawah 20 tahun kondisi emosionalnya masih belum matang, Mom. Mereka masih rawan melakukan kekerasan saat marah.

Selain itu, mereka juga cenderung belum siap menghadapi berbagai masalah rumah tangga, misalnya finansial. Hal tersebut menimbulkan stres sehingga bisa dilampiaskan dalam bentuk kekerasan.

Baca juga: Jangan Buru-Buru Menikah, Psikolog Ini Ungkap Alasannya

4. Risiko kematian ibu dan bayi

Risiko kematian ibu dan bayi juga merupakan salah satu dampak pernikahan dini. Ini dikarenakan perempuan yang masih remaja cenderung organ reproduksinya belum matang, sehingga mereka belum siap untuk hamil dan melahirkan.

Artinya, mereka yang menikah di usia remaja juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan yang dapat mengancam nyawa ibu dan bayi.

5. Risiko mengalami kekerasan seksual

Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun akan cenderung mengalami kekerasan seksual dari pasangannya dibandingkan dengan wanita yang menikah pada usia dewasa. Mengapa?

Karena pada usia tersebut anak belum memiliki pengetahuan seputar kesehatan reproduksi sehingga cenderung tidak berdaya menolak hubungan seks. Padahal awal mula tujuan menikah dini adalah guna melindungi diri dari kekerasan seksual. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Dampak pernikahan dini malah menimbulkan risiko kekerasan makin tinggi, terlebih jika jarak usia pasangan semakin jauh.

6. Risiko mengalami masalah psikologis

Tak hanya pada fisik, dampak pernikahan dini juga memberikan pengaruh bagi kesehatan psikologis anak, lho. Beberapa studi menunjukkan bahwa semakin muda usia wanita menikah, maka semakin tinggi pula risikonya terkena gangguan mental, contohnya anxiety disorder, gangguan mood, dan depresi di kemudian hari.

7. Risiko memiliki tingkat sosial dan ekonomi rendah

Menurut data Bappenas, perkawinan anak dapat berdampak pada ekonomi yang menyebabkan kerugian negara sekitar 1,7% dari Pendapatan Kotor Negara (PDB). Sehingga dampak pernikahan dini juga bisa merampas hak masa depan remaja tersebut. Di mana seharusnya mereka belajar untuk menggapai masa depan dan kemampuan finansial yang lebih baik.

Sebagian besar wanita yang menikah di usia dini cenderung putus sekolah karena mau tidak mau mereka harus memenuhi kewajiban setelah menikah. Sama halnya dengan remaja pria yang belum siap menanggung nafkah dan berperan sebagai suami.

Baca juga: Tanyakan 6 Hal Ini Kepada Diri Sendiri Sebelum Menikah

Cara mencegah perkawinan dini

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah guna mencegah peningkatan angka perkawinan anak, salah satunya adalah dengan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi.

Namun, itu semua tidak akan berjalan optimal tanpa peran dari Mom dan Dad selaku orang tua. Karena bagaimanapun juga, pendidikan dasar di keluarga menjadi yang utama. Adapun cara mencegah perkawinan dini antara lain sebagai berikut.

  1. Meningkatkan kualitas pendidikan formal bagi anak
  2. Memberikan edukasi kepada anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual
  3. Mempromosikan kesetaraan gender
  4. Memberdayakan anak dengan informasi dan keterampilan

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa dengan mencegah perkawinan dini, maka turut mendukung percepatan penurunan angka stunting dan kematian ibu serta bayi di Indonesia.

Selain itu, remaja juga harus mulai melek tentang kesehatan demi mencegah kehamilan dini. Beberapa pengetahuan yang sebaiknya Mom dan Dad ajarkan pada anak tentang kesehatan reproduksi yakni:

  1. Perempuan bisa hamil dengan satu kali berhubungan seks
  2. Penularan HIV/AIDS dapat dikurangi dengan setia berhubungan seksual pada satu pasangan dan menggunakan kondom
  3. Informasi seputar penyakit menular seksual yang bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki
  4. Informasi terkait HIV/AIDS
  5. Informasi yang berhubungan dengan penyedia layanan dan konseling kesehatan reproduksi remaja

Itulah beragam dampak pernikahan dini dan upaya untuk mencegahnya. Mom dapat memberikan pengertian pada anak agar mereka tidak salah dalam mengambil langkah. Selain itu, penting juga bagi Mom untuk memberi mereka pengetahuan seputar kesehatan reproduksi sejak dini. Jadi, sudah siap membantu pemerintah menurunkan angka perkawinan dini, Mom?

Baca juga: Prosedur Tes Kesehatan Sebelum Menikah di Puskesmas