Ada banyak dongeng nusantara di Indonesia, salah satunya yang terkenal hingga kini adalah legenda Malin Kundang yang berasal dari Sumatera Barat. Kisah ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang durhaka kepada ibunya.

Saking populernya, cerita ini sering diadaptasi untuk pementasan drama di dalam dan di luar negeri menggunakan bahasa Inggris lho, Mom. Meski hanya sekedar dongeng, namun cerita legenda ini mengajarkan banyak nilai moral bagi anak-anak.

Oleh sebab itu, cerita ini sangat cocok dijadikan media dalam mengenalkan sifat baik anak kepada orang tua, seperti tidak boleh membantah atau melawan orang tua, tidak boleh sombong, dan sebagainya.

Bagaimana, Mom tertarik untuk menceritakan dongeng Malin Kundang ini sebagai pengantar tidur kepada si kecil? Jika iya, yuk simak cerita singkatnya berikut.

Cerita Malin Kundang untuk pengantar tidur anak

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda miskin dengan seorang anak laki-lakinya, yang bernama Mande Rubayah dan Malin Kundang. Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang karena ia adalah seorang anak rajin yang penurut.

Sang ibu sudah tua dan hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencukupi kebutuhannya. Suatu hari, Malin jatuh sakit, nyawanya hampir melayang, tetapi ia dapat diselamatkan berkat usaha ibunya.

Setelah sembuh, ia menjadi lebih disayang karena memang mereka berdua adalah ibu dan anak yang saling menyayangi.

Cerita Malin Kundang merantau untuk merubah nasibnya

Kini ia sudah dewasa dan meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, sebab saat itu sedang ada kapal besar merapat di pantai dekat kampungnya.

Ibunya takut bila terjadi sesuatu kepada anaknya ketika berada di tanah rantau. Mande Rubayah tetap menyuruh anaknya untuk tinggal di desa dan menemaninya saja.

Malin meyakinkan ibunya, kalau tidak akan ada hal yang terjadi. Ia bilang ini adalah kesempatan untuk dapat merantau, karena belum tentu setahun sekali akan ada kapal yang merapat. Malin memohon kepada sang ibu.

“Baik, ibu izinkan. Namun cepatlah kembali karena ibu selalu menunggumu”, kata ibunya sambil menangisi kepergian Malin.

Dengan berat hati, ibunya mengizinkan anaknya pergi dan dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang yang berlapis tujuh. “Untuk bekalmu di perjalanan”, katanya. Setelah itu, Malin berangkat ke kota merantau dan meninggalkan ibunya sendirian.

Baca juga: Enam Manfaat Membacakan Buku Untuk Anak Sebelum Tidur

Sang ibu mendoakan agar anaknya selamat dan cepat kembali

Hari terus berjalan. Bagi Mande Rubayah ini adalah hari yang terasa lambat. Setiap pagi dan sore ia terus memandangi laut.

“Sudah sampai mana kamu berlayar, Nak?” Tanyanya dalam hati. Ia selalu berdoa agar Malin selamat dan segera kembali.

Beberapa waktu kemudian, ada kapal besar yang datang dan ia menanyakan bagaimana kabar anaknya.

“Apakah kalian melihat Malin anakku? Apakah dia sampai dengan selamat? Kapan ia akan pulang?”

Namun, tak ada jawaban sama sekali. Malin tidak pernah menitipkan salam atau barang apapun untuk ibunya di kampung.

Malin Kundang telah menikahi putri bangsawan

Bertahun-tahun telah berlalu, Mande Rubayah terus bertanya ketika ada kapal yang merapat. Namun, tetap saja, tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua dan membungkuk.

Hingga pada suatu hari ia mendapat kabar dari nahkoda yang dulu membawa Malin, nahkoda tersebut membawa kabar bahagia kepada Ibu Malin. Ia berkata pada Ibu Malin bahwa anaknya kini sudah menikah dengan gadis cantik putri seorang bangsawan yang kaya raya.

Mendengar ucapan nahkoda tersebut, ia terlihat sangat senang dan berdoa setiap malam agar anaknya segera pulang.

Ia yakin bahwa anaknya akan segera datang. Hal itu benar terjadi tak selang beberapa lama. Di suatu hari yang cerah terlihat sebuah kaal megah dan indah berlayar menuju pantai.

Malin Kundang kembali

Penduduk desa berdatangan untuk berkumpul karena mengira kapal itu adalah milik seorang sultan atau pangeran. Mereka semua menyambut dengan hati yang gembira.

Ibunya juga sangat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya dapat kembali ke kampung.

Ketika kapal tersebut mulai mendekati pantai, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan kapal. Pakaiannya berkilauan terkena sinar matahari yang sangat cerah pada hari itu. Wajahnya dihiasi senyum cerah karena disambut oleh warga desa dengan meriah.

Mande Rubayah tak ketinggalan untuk ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar saat melihat lelaki muda yang berdiri di kapal itu, karena ia sangat yakin bahwa lelaki itu adalah anaknya, Malin Kundang.

Sesepuh desa itu belum sempat menyambut, namun ibu Malin sudah terlebih dahulu menghampiri anaknya yang pulang dari merantau itu. Ia langsung memeluknya dengan erat karena takut Malin akan meninggalkannya lagi.

“Apakah kamu benar anakku? Malin anakku, kan?” katanya sambil menahan tangis gembira. “Mengapa lama sekali dan tidak memberi kabar?”

Malin Kundang dan istrinya merendahkan ibunya

Malin sangat terkejut ketika dipeluk oleh wanita tua dengan pakaian compang camping. Ia tidak percaya dan terus menyangkal bahwa wanita tua itu adalah ibunya.

Sebelum ia ingin berbicara, istrinya sudah terlebih dahulu meludah dan berkata, “Apakah perempuan jelek ini ibumu? Mengapa kamu dulu bohong padaku? Bukankah kau dulu berkata bahwa ibumu juga bangsawan yang sederajat denganku?” ucapnya sambil marah.

Mendengar kata-kata pedas itu keluar dari mulut istrinya, Malin langsung mendorong ibunya hingga terjatuh. “Wanita gila, aku bukan anakmu!” ucapnya dengan kasar.

Ibu Malin tidak percaya dengan kelakuan anaknya. Ia terjatuh sambil berkata

“Malin, Malin, aku ibumu. Mengapa kamu menjadi seperti itu, Nak?”

Ia sama sekali tidak memperdulikan perkataan ibunya dan tidak akan mengakuinya.

Hingga pada Mande Rubayah bersujud hendak memeluk kaki Malin, Malin menendangnya sambil berkata “Hai perempuan gila! Ibuku tidak sepertimu yang miskin dan kotor,” sang ibu terkapar di pasir, menangisi si anak dan sakit hati akan ucapannya.

Orang-orang yang melihatnya pun ikut bingung akan apa yang terjadi dan pulang ke rumah masing-masing. Saat itu, Ibu Malin pingsan dan terkapar sendirian di pasir. Setelah ia sadar, pantai itu sudah sepi.

Baca juga: Cerita Bawang Merah Bawang Putih Singkat Untuk Anak

Sang ibu berdoa dengan hatinya yang pilu

Ia melihat kapal Malin semakin menjauh dan masih tidak menyangka bahwa anaknya yang dulu ia sayang tega berbuat seperti itu. Hatinya sakit, ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu.

“Ya Tuhan, jika ia memang bukan anakku, tolong maafkan perbuatanku yang memalukan tadi. Namun, jika ia memang benar anakku yang kuberi nama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu.”

Ucapnya sambil menangis pilu.

Tak lama, cuaca di tengah laut yang tadinya sangat cerah mendadak berubah menjadi gelap, dan hujan turun dengan begitu lebatnya.

Kisah batu Malin Kundang

Tiba-tiba muncul badai sangat besar dan sambaran petir menghantam kapal Malin. Saat itu juga kapal hancur berkeping-keping dan terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya, matahari muncul dan badai telah reda. Di pinggiran pantai tampak kepingan kapal berubah menjadi batu. Juga, tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu.

Di sela-sela batu itu, banyak ikan teri, tenggiri, dan belanak yang konon katanya berasal dari serpihan tubuh istri Malin yang terus mencari suaminya.

Baca juga: Keong Mas, Dongeng Anak Indonesia Pengantar Tidur Si Kecil

Pesan moral cerita Malin Kundang

Dari cerita Malin Kundang di atas, ada pesan moral yang bisa Mom ajarkan pada anak, yaitu:

  • Dalam kondisi apapun, anak harus tetap hormat dan berbakti kepada orang tua, terutama Ibu.
  • Kerja keras akan membuahkan hasil selama terus berusaha dan pantang menyerah.
  • Menjauhi sifat suka berbohong dan angkuh.
  • Tidak boleh lupa diri dalam kemewahan

Itulah dia cerita Malin Kundang, si anak yang durhaka pada ibunya. Bagaimana Mom, tertarik untuk membacakannya pada si kecil sebelum tidur? Semoga bisa dijadikan pembelajaran untuk diceritakan ke anak, ya!